INGATAN SAYA TENTANG KAMU
.
.
.
Ini hanyalah sebuah tulisan kecil yang menceritakan tentang kamu di mata saya.
.
.
.
© Hikari
.
.
Yang pertama saya ingat dari kamu adalah, saat saya duduk bersebelahan denganmu ketika ulangan kenaikan kelas saat kita berada di kelas 2 SMP. Awalnya, saya tidak berpikir akan bermasalah jika saya duduk denganmu. Namun, tidak. Tidak tidak bermasalah. Karena, saat kita duduk dan mengerjakan soal tersebut, teman-teman kita saling menyorak dengan perkataan aneh-aneh. Apalagi, ketika kamu mulai mendekati saya untuk tujuan mencontek saya—keadaan semakin riuh.
Saya hanya menghindar. Saya sudah sejak dulu anti kalau berdekatan dengan makhluk Tuhan yang bernama laki-laki kecuali saudara saya sendiri. Dan sudah pasti, ketika kamu mendekat, saya menjauh sejauh-jauhnya ke ujung meja. Saya rela kamu contek, tapi tidak rela didekati sebegini rupa. Saya benci dengan sorakan yang berusaha membuat saya jatuh dan depresi. Hanya itu.
Tapi, entah kenapa, saya jadi rindu untuk duduk denganmu lagi—asal kamu tidak dekat-dekat lagi dengan saya. Hanya sebagai teman, tidak lebih.
.
.
.
Saya tidak tahu harus berucap apa ketika melihatmu waktu itu. Wajah pucat, muntah-muntah dan kenyataan bahwa—kamu dipukuli. Saya tahu, karena waktu kamu dipukuli, saya melihatnya. Saya hanya diam. Kenapa saya tidak mencoba menghentikan orang yang memukulimu? Maaf, saya bukan tokoh utama dalam sebuah cerita romantis, sinetron ataupun komik. Saya hanya manusia biasa yang mempunyai akal dan insting melindungi diri sendiri. Bahkan, mungkin hanya akan ada satu dua orang yang menolongmu waktu itu, karena orang yang memukulimu adalah orang paling berandal di sekolah ini.
Saya—yang seorang perempuan—tentu berpikir matang-matang untuk berteriak dan menghentikan adegan pukul-pukulan itu—seperti yang sering terjadi dalam sebuah cerita romantis. Sayangnya, saya bukan orang yang terlalu romantis, begitu pula denganmu.
Saya memang terlihat tidak khawatir denganmu waktu itu. Rasa empati saya, mungkin sudah sulit untuk dibangkitkan. Saya juga tidak menangis ketika kamu dipukuli. Tangis saya sudah mati sejak saya bertemu dengan mereka yang membunuh air mata saya. Lalu, apa yang saya rasakan waktu itu? Saya hanya merasa kasihan. Saya merasa apa yang semua orang umum rasakan ketika melihatmu seperti itu. Bahkan, berita kamu di-opname pun, saya tidak terkejut mendengarnya. Yang saya sesali dan saya kecewakan waktu itu adalah, kenapa saya tidak bisa menjengukmu bersama teman-teman yang lain, dan kenapa teman-teman yang lain—yang menjengukmu—tidak mengajak saya—dan beebrapa teman lain—untuk menjengukmu. Itu yang saya kecewakan sampai sekarang.
.
.
.
Lulus. Akhirnya saya terbebas dari teman-teman yang telah menindas saya bertahun-tahun itu. Saya muak, jika saya harus berlama-lama bersama dengan mereka. Lama-lama, jiwa kemanusiaan saya berkurang karena saya ingin membunuh mereka—ups! Itu hanya perumpamaan.
Saya mulai masuk ke SMA yang jauh dari tempat tinggal saya. Untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan satu sekolah lagi dengan teman-teman saya yang dulu.
Meski saya benci—ehm, tidak suka dengan teman-teman saya yang dulu, tapi kamu tidak. Saya tidak benci kamu, maupun menyukai kamu. Menurut saya, kamu adalah salah satu teman yang menyenangkan selama saya bersekolah di sekolah itu.
.
.
.
Saya suka bersekolah di sekolah saya yang baru ini. Saya tidak ditindas ataupun didiskriminasikan oleh teman-teman saya yang sekarang. Semua begitu menyayangi saya, dan saya merasa betah dan senang bersekolah di sini. Berangkat dengan bus, pulang dengan bus. Dan saya menyukai itu.
Ya, saya suka pulang dengan naik bus—menyenangkan. Selain karena bus-nya cepat, satu hal yang saya sukai adalah saat turun dari bus. Waktu itu, ketika saya turun dari bus, ternyata saya turun bersama mantan teman saya—dan kamu—dulu. Nah, ketika saya turun, saya berbalik melihat ke arah dalam bus. Ternyata, kamu sedang berdiri, hendak turun di pemberhentian selanjutnya. Kamu yang menyadari kehadiran saya, lalu melambaikan tanganmu dan menyunggingkan senyummu kepada saya, yang lalu saya balas dengan tersenyum kepadamu.
Itulah alasan saya suka naik bus. Karena, saya bisa saja menemukan kamu berada satu bus dengan saya.
.
.
.
Terkadang, saya juga kesal dengan bus yang saya tumpangi. Terkadang bus itu berhenti—untuk mencari penumpang—terlalu lama, membuat saya mencak-mencak sendiri di dalam bus. Tapi, ada satu hal yang juga alasan kenapa saya kesal dengan bus yang saya tumpangi. Yaitu, saya jarang sekali bertemu pandang denganmu dalam satu bus.
Terkadang, bus yang nantinya kamu tumpangi itu berbeda dengan saya. Kamu terbiasa turun untuk oper bus di terminal, sedangkan saya sudah berada di bus sebelum bus itu berhenti di terminal. Nah, kamu sering naik ke bus yang berbeda dengan saya. Saya yang terkadang melihatmu turun dari bus, serta naik bus dari terminal—hanya bisa berharap bus yang saya tumpangi segera berjalan. Tapi ternyata, tidak. Bus yang saya tumpangi justru berhenti lama sekali, sedangkan bus lain sudah berangkat dulu—dan yang meneyebalkannya, kamu malah naik bus tersebut.
Kesal, memang. Yah, saya tidak tahu kenapa saya harus kesal karena tidak satu bus denganmu. Oke, saya memang tidak tahu kenapa saya begitu. Ada yang bisa membantu saya?
.
.
.
Jika berada dalam bus, saya jadi mengingat sesuatu. Saya ingat saat saya pulang bersama teman saya yang rumahnya searah dan naik bus yang sama dengan saya. Saya juga ingat saat saya secara tidak sengaja bertemu dengan teman lama yang dulu baik juga sama saya—meski terkadang saya juga bertemu dengan beberapa yang, ehm, menyebalkan.
Tapi, yang paling saya ingat—dan saya rindukan—adalah saat saya melirik-lirik ke arah belakang tempat duduk bus hanya untuk mencari—serta menemukan—bayanganmu yang tengah duduk dan tersenyum ketika bertemu pandang dengan saya, dan saya tersenyum membalasnya.
Serta, saat saya secara tidak sengaja melihat kamu yang tengah terburu-buru dalam bertransaksi dengan pedagang di terminal karena bus yang akan kamu tumpangi—sekaligus bus yang secara tidak sengaja, saya tumpangi pula—akan segera berangkat dan kamu masih sibuk bertransaksi.
Asal kamu tahu, saya senyum-senyum sendiri ketika melihat tingkahmu waktu itu. Dan entah kenapa, saya seperti meneriakkan seruan “YEAH!” ketika kamu akhirnya naik ke bus tersebut. Lalu, dengan perlahan, saya tolehkan kembali kepala saya ke belakang dan—menemukan kamu yang tengah tersenyum kepada saya.
.
.
.
Jarang. Saya jarang sekali bisa berbincang lama denganmu.
Canggung. Satu itu yang saya rasakan setiap saya berbicara denganmu—juga dengan lelaki lain. Mungkin sudah jadi sifat asli saya yang seperti itu.
Seperti saat, saya secara tidak sengaja bertemu kamu di bus yang ramai penumpangnya, tapi kali ini, kamu sudah ada di dalam bus. Kamu duduk di deretan kursi tiga, dan ada sebuah bangku kosong di tengah-tengah, antara kamu dan seorang penumpang. Saya, yang sudah kenal kamu, segera memintamu untuk bergeser.
“Eh, bisa aku duduk di situ?”
Lalu, tanpa sepatah kata, kamu membukakan jalan agar aku bisa duduk ke kursi itu.
“Baru pulang?”
“Iya. Kamu?”
“Iya. Sama.”
Dan kemudian, hening. Saya lebih memilih diam saja. Sudah sifat saya seperti itu. Tapi, setidaknya saya tidak seperti gadis-gadis yang senyum-senyum flirting heboh ataupun bicara dengan aksen dimanis-maniskan saat bertemu dengan orang yang baru ditaksirnya. Bagi saya, bertemu kamu pun sudah merupakan kesenangan tersendiri. Hei—apakah saya sudah jatuh cinta padamu? Apakah saya juga naksir kamu? Sayangnya, saya juga tidak tahu.
.
.
.
Tidak sengaja. Saya selalu bertemu dengan ketidak sengajaan. Kapan saja. Saya juga tidak tahu kenapa. Namun, ketidak sengajaan tersebut terasa lebih manis daripada sebuah kesengajaan yang sudah direncanakan.
Seperti saat-saat saya bertemu kamu, baik langsung ataupun secara pandangan saja. Terkadang, saat saya berada di dalam bus dan saya melihatmu di bangku bagian belakang. Saat saya berada di halte, sedang menunggu bus, saya melihat kamu yang sedang naik bus kota berkecepatan tinggi dan tidak memperhatikan saya. Saya hanya bisa tersenyum melihat tingkahmu waktu itu. Lucu seperti biasanya dulu.
Bahkan, saat sore pun juga. Saat saya sedang pulang dari toko di dekat jalan raya, saya secara tidak sengaja melihat kamu sedang memperbaiki sepeda—mungkin—di sebuah bengkel tak jauh dari toko tersebut. Saya yang waktu itu sedang bersepeda, hanya bisa kaget ketika melihatmu memanggil nama saya dan tersenyum kembali kepada saya. Dan satu hal yang bisa saya lakukan saat itu—dan saat-saat saya bertemu kamu—adalah membalas senyummu.
.
.
.
Ada satu hal tidak biasa, yang lagi-lagi terjadi di dalam bus. Waktu itu, sekolah pulang lebih awal. Saya menunggu bus dengan teman saya seperti biasa di halte yang biasanya juga. Saya dan teman saya lalu naik bus yang cukup biasa kami tumpangi. Dan, saat saya mencari tempat duduk, tidak disangka, kamu juga naik bus yang sama dengan yang saya naiki.
“Eh?”
“Eh?”
“Baru pulang?”
“Iya.”
“Kok nyegat di sini?”
“Tadi aku turun di halte sini, terus nongkrong sebentar di warnet belakang halte itu,”
“Oh,”
Lalu, ia pun mencari tempat duduk di belakang, sementara saya berada di tengah sesuai yang dipilihkan teman saya. Dan, saya sama sekali tidak menyangka kamu akan naik dari halte yang sama dengan saya. Hampir, dalam perjalanan pulang tersebut, saya selalu bertanya-tanya dalam hati tentang kenapa kamu sampai turun di halte tadi dan naik dari halte itu bersama saya, sambil sesekali saya melirik ke belakang, untuk melihat dirimu yang sedang melihat-lihat ke arah lain.
Tidak apa-apa sih, kamu tidak menoleh ke arah saya. Yang, saya permasalahkan, kenapa kamu harus turun di halte yang biasa menjadi tempat saya untuk naik bus kalau pulang. Kamu seharusnya bisa naik dari terminal, bahkan di sana lebih ramai dari halte tadi. Lalu, kenapa kamu harus turun di sana? Dan itu masih menjadi misteri tersendiri bagi saya tentangmu sampai sekarang.
.
.
.
Hampir saat saya kelas tiga, saya jarang bertemu kamu. Hanya sekali saja, mungkin, saat kamu sedang memperbaiki sepeda yang tadi sudah dibahas di atas. Dan seterusnya, saya tidak ingat pernah melihat kamu. Bahkan sampai saya lulus pun, saya tidak juga melihatmu. Oh, saya cukup rindu.
Namun, rindu itu terobati seketika, ketika saya secara tidak sengaja—lagi—bertemu denganmu di jalan. Waktu itu saya sedang libur setelah pengumuman kelulusan, dan saya mau pergi ke toko di dekat jalan raya. Saat di dekat rel, saya merasa ada yang memanggil nama saya.
“...!” *
Lalu, saat saya melihat ke depan samping, ternyata, kamu yang memanggil nama saya sambil tersenyum. Saya pangling dengan penampilanmu. Kamu cukup berubah dengan kacamata minus—mungkin—yang tertengger manis menutupi matamu. Saya pun merasa, kamu dan saya itu sama—sama-sama memakai kacamata. Saya yang sadar itu adalah kamu, pun hanya bisa menyapa kamu balik—
“Haaai!”
—sambil tersenyum juga.
Dan itu saat terakhir saya bertemu kamu. Karena setelah itu, saya tidak bertemu kamu sama sekali, meski saya berharap banyak dapat bertemu lagi. Di dalam bus, mungkin.
.
.
.
Kini, saya sedang duduk manis di depan layar laptop sambil mengetikkan ingatan-ingatan saya tentang kamu yang semuanya tidak disengaja. Tidak tahu kenapa, saya ingin sekali mengetikkan hal ini. Saya tahu, saya memang rindu kepada kamu, gara-gara otak dan pikiran saya tiba-tiba memberikan gambaran wajahmu di kepala saya—membuat saya rindu dan ingin mengingat kembali apa yang saya tulis di atas.
Kini, saya bingung, saya mau menulis apa lagi tentang kamu. Ingatan saya sudah habis. Sepertinya, saya kurang menghabiskan waktu lebih lama denganmu. Mungkin, hal terakhir yang akan saya tanyakan di sini adalah, apakah saya jatuh cinta kepadamu, berdasarkan atas apa yang saya tulis tadi? Karena saya sendiri juga tidak tahu, saya jatuh cinta kepadamu atau tidak. Sebatas menyukai, bolehlah. Tapi kalau cinta? Saya tidak tahu pasti. Saya tidak terlalu mengerti arti cinta untuk diri saya sendiri.
Well, karena saya tidak tahu harus menulis apa lagi, saya akan akhiri saja dengan sebuah ucapan yang sangat ingin saya katakan jika saya bertemu kamu lagi.
.
.
.
Saya merindukan kamu.
.
.
.
—Fin—
.
.
.
Note :
“...!”* : Nama seseorang yang meminta saya untuk dirahasiakan—Privasi. :]
.
.
.
ASDFGHJKL SAYA NULIS APA’AN INI?!!!!!!
Uoooooo~ nggak tau deh, ini apa’an. Saya Cuma nulis-nulis aja :p
Well, karena saya sedang WB buat ngelanjutin fic, malah jadi nulis beginian. Ampun dah ;A;
Mumpung blog saya kosong, ya udah, saya kasih tulisan ini saja.
Tau gak ini cerita apa?
...
...
...
Ya udah, saya juga nggak tau #digampar
‘Saya’ dan ‘kamu’ di sini saya rahasiakan karena urusan privasi dari yang bersangkutan. Jadi maaf kalau tidak berkenan. Saya menghormati privasi orang. :]
Dan karena saya sudah nggak bisa nulis apa-apa lagi, boleh saya undur diri? :]
Arriverdercci
Hikari
0 comments:
Posting Komentar