Hola hola~ ohisashiburi~
o/ *lambai-lambai tangan*
Wew, sudah lama nggak posting
ini blog lagi
uhukdengantulisangajesayauhuk. Well,
saya lagi nggak ada ide nulis apa, dan sifat mager saya kumat akhir-akhir ini,
hingga membuat saya menemukan rumus terbaru dalam hidup saya: (writer’s block + art’s block) x mager = klop.
Oke, abaikan rumus gaje itu.
Sebenarnya artikel yang saya posting kali ini lebih mirip lembaran esai orang curhat daripada
artikel yang bermutu. Tapi, karena saya kepikirnya cuma ini dan rasanya nggak ‘plong’ gitu kalau nggak saya tulis di
sini, ya sudah deh, saya tulis di sini. Lumayanlah, nambahin posting-an di blog.
Bicara sendiri. Sesuai dengan judulnya, emang ada pakemnya
ya, kalau orang yang bicara sendiri itu pasti gila atau lagi bicara sama makhluk
halus? Hell, no! Nggak pernah ada.
Terus, misalnya pas kita sedang nonton sinetron terus si tokoh lagi bicara
sendiri ngomongin soal kegalauan hatinya secara tersurat. Apakah dia gila juga?
Enggak, 'kan?
Nah, bicara sendiri itu nggak mesti dia itu gila atau lagi
bicara sama makhluk halus. Anggapan darimana itu? -___-. Jujur, hal seperti ini
juga agak-agak nyiksa saya yang memang hobi bicara sendiri selama tiga tahun.
Anda berpikir saya gila? Tidak mungkin. Mana ada orang yang gangguan jiwa bisa
menulis dengan indahnya di blog
ini. Apakah Anda berpikir kalau saya bisa melihat makhluk halus? Well, saya cuma bisa ngelihat sesuatu
yang kasar, kok. 8’)) #plak.
Kenapa bisa nyiksa? Jadi gini, waktu pertama kelas 1 SMA, saya sering
bicara sendiri. Nah, saya kan sedang ngomongin alur fanfic serta fangirling
sendiri. Suatu ketika, saya sedang bicara sama salah satu teman saya. Nah, dia
tahu soal kegiatan ngomong sendiri ini. Dan guess
what, saya sempet dikira gila sama anak sekelas. Asli, saya mau ketawa,
tapi rasanya, kok, miris juga. Setelah mengetahui hal itu, saya lalu seminimal
mungkin tidak bicara sendiri.
Kasus kedua terjadi di Maret 2011. Waktu itu saya dipanggil
wali kelas saya. Saya yang tidak tahu apa-apa kenapa bisa dipanggil, cuma bisa
ber-doki-doki ria selama berjalan ke
kantor guru. Saya lalu menghadap beliau dengan perasaan nervous-angsty gimana gitu, sementara beliau cuma senyum lembut.
Jantung saya semakin doki-doki kayak
lagi nonton film horror gitu. Saya
ingat banget pertanyaan yang beliau tanyakan waktu itu. Begini kalau nggak
salah, “Mbak Hikari, ya?” tanya beliau sambil senyum.
“Iya,” jawab saya sambil doki-doki
tingkat tinggi dan muka kayak mau nangis. Well,
saya buruk banget kalau lagi konversasi sama orang yang lebih tua dari saya.
Beliau lalu tanya dengan muka pengen tahu, “Mbak Hikari bisa ‘ngelihat’?”
“Eh?” di sini saya bingung mau jawab apa. Ini maksudnya
ngelihat sesuatu pakai mata, 'kan? “Iya,” lanjut saya karena menurut saya kalau
ngelihat, kan, semua orang bisa. Terus kenapa? Ada masalah sama penglihatan saya?,
pikir saya.
“Mbak Hikari bisa ngobrol sama ‘mereka’?”
... HAH?! MEREKA SIAPA?!
Dan saya nggak bisa jawab pertanyaan ini. Beneran, saya
nggak tahu maksud dari wali kelas saya ini. Lalu, saya pun tanya, “‘mereka’ siapa?”
“Eh? ‘Mereka’. ‘Mereka’ yang nggak bisa dilihat oleh
mata,” jawab beliau.
Dan saya baru ‘ngeh’.
Jadi, maksud dari ‘ngelihat’ itu, ini
toh? Gue pikir apa.
Langsung deh, saya buru-buru bilang kalau saya nggak bisa ‘ngelihat mereka’. Terus beliau
ngerespon, kalau kata anak-anak sekelas, mereka sering gitu ngelihat saya
bicara sendiri. Dan saya cuma bisa speechless.
Demi Titan, ternyata asal muasalnya dari situ, toh. Waktu itu saya juga cerita
saya pernah lihat begituan, tapi waktu kelas 3 SD. Dan hal ini nggak bisa saya
lupakan. Tapi setelah itu saya nggak bisa lihat lagi. Dan saya juga nggak mau
lihat lagi.
Setelah selesai, saya balik ke kelas. Sesampainya di kelas
langsung ditanyai teman sebangku. “Tadi kenapa dipanggil? Masalah itu, ya?” dan dengan senyum agak masam
saya bilang, “ah, enggak, kok. Masalah lain. Nggak apa-apa,”
Setelah itu saya berniat untuk mencegah bicara sendiri di
kelas. Ini horror. Masa’ sampai segitu parahnya saya bicara sendiri?
Kasus ketiga pas kelas 2 SMA. Kalau ini sama teman sebangku.
Waktu itu saya lagi bicarain apa gitu soal apa lupa intinya lagi bicara
sendiri. Nah, teman saya itu langsung manggil saya, “Ri, mbok jangan bicara
sendiri. Kamu ngeri, lho, nakutin,” Langsung saya balas pakai senyum tanpa dosa
gitu sambil nutupin bibir pake buku. Njiiir, gue harus hati-hati, batin saya.
Kalau kelas 2 ini emang kerap digituin sama teman sebangku. Sayanya aja sih
yang kurang kendaliin diri.
Kasus keempat pas kelas 3 SMA (nah, pas banget kan tiga
tahun!). Kebiasaan kelepasan ngomong sendiri saya masih belum bisa dikendaliin
dan ngomong-ngomong saya waktu naik kelas 3, udah nggak peduli ntar mau teman
saya banyak atau nggak blas sama
sekali. Kejadiannya mirip pas waktu kelas 2, tapi ada sesuatu yang lebih lawak
lagi. Begini, saya kan dibilangin sama teman sebangku saya itu mirip sama pas
kelas 2 (dan sering banget saya bales gini, “ah, sori, lagi monolog sendiri,”).
Nah, dia lalu nambahin, “eh, tau nggak, kemarin tuh anak-anak pada ngomongin
kamu, lho,”.
Nah, saya lalu kepo
total. Kenapa bisa-bisanya saya diomongin gini? Lalu saya balas, “ngomongin
gimana?”
“Ngomongin kalau kamu tuh jangan-jangan ada apa-apa karena
kamu sering banget bicara sendiri. Ada juga yang bilang gila,” katanya—dan saya
speechless dan mau ketawa. “Aku sih
nanggepin mereka gini, kamu itu lagi nyanyi aja, gitu,” saya bersyukur denger
dia balesnya gitu. “Lesnya kemarin malah jadi nggosipin kamu,”
Dan saya langsung ketawa ngakak. Eh, ini anak-anak les malah
nggosipin orang ini maksudnya apa? =”))))))))))))). Saya langsung bilang, “wooo
lhaa malah nggosipin orang i gimana,”. Saya udah nggak paham sama mereka.
Bisa-bisanya pas les malah nggosipin orang. Dan di sini saya sadar, saya
bener-bener harus bisa ngendaliin kebiasaan saya bicara sendiri di depan umum.
Ini udah bahaya banget.
Well, lupakan sesi
curhat panjang saya tadi. Sebenarnya, pas saya bicara sendiri itu, saya nggak cuma
sedang fangirling sendirian (karena
nggak ada yang bisa diajak fangirling
bareng di kelas orz), saya juga kadang lagi ngritik yang lagi maju di depan
atau ngritik permasalahan yang lagi dibicarakan dengan suara kecil tapi nada
sarkas. Saya juga biasanya bicara sendiri karena saya lagi mencoba memutuskan
sesuatu. Seperti saja pas memutuskan jurusan kuliah. Saya tulis yang kira-kira
cocok untuk saya dan saya minat. Lalu saya eliminasi-eliminasi beberapa. Nah,
proses eliminasi dan penentuan prioritas itulah, saya menggunakan kebiasaan bicara
sendiri itu. Saya coba kira-kira yang pas tuh yang mana. Yang sesuai minat dan
kemampuan itu yang mana. Yang minat banget dan punya kemampuan di situ yang
mana lalu diprioritaskan utama. Semua kadang bikin saya asyik buat bicara
sendiri.
Makanya, nggak pasti bicara sendiri itu gila kan. Saya
sering kok memutuskan sesuatu dengan bicara sendiri. Menurut saya, bicara
sendiri itu kayak ngomongin unek-unek dari dalem otak buat diolah dalam bentuk
kata-kata biar nggak bikin bimbang dan pusing. Well, mungkin karena dasarnya saya itu sebenarnya asal ceplos tapi
dalam suara yang relatif kecil. Makanya, walau mereka yang kenal saya bilang
saya ini pendiam, sebenarnya cuma karena suara saya yang kecil.
Ohya, bicara sendiri itu juga berguna buat ngenalin diri
sendiri dan intropeksi. Saya pernah baca tweet
yang bernada seperti itu di twitter. Kadang
coba deh, pas kita lagi dimarahi dan kita juga balik marah sama yang memarahi
kita, kita coba buat bicarain sendiri apa masalah yang bikin kita dimarahi
terus coba kita pikir siapa sebenarnya yang salah. Nah, kalau pas kita bicara
sendiri ternyata ketemu kita yang salah, ya kita harus intropeksi.
Menurut saya, bicara sendiri itu sering terjadi sama
anak-anak yang temannya kurang di sekitarnya. Tapi itu juga nggak pasti, sih. Well, yang penting, bicara sendiri itu
nggak disama artikan dengan gila, oke? Dengar dulu apa yang sedang dia
bicarakan sendiri dan lihat juga ekspresinya. Kalau ekspresi serius, pasti dia
sedang bicarain sesuatu yang serius. Tapi kalau ekspresinya senang dengan
binar-binar di matanya atau sambil mesem-mesem
sendiri atau nggak diselipin teriakan “kyaaa!”
............................................ siapa tahu dia itu fangirl dan sedang fangirling-an seperti yang sering saya lakukan ohohoho (~´∀`)~ #ditimpuk.
Saya rasa, cukup sekian esai semi-curhat
dari saya soal bicara sendiri. Yang penting, jangan suudzon dulu sama mereka yang bicara sendiri. Nggak baik ntar
hasilnya. Oke? ( ´∀`)/
Jumpa
lagi di posting gaje nan abal selanjutnya!
Sincerely,
Hikari.
koq kita banyak memiliki persamaan ya mbak. saya juga sering bicara sendiri, bahkan sama teman-teman sekelas udah di anggap gila. tapi saya ngga' peduli. btw, nice article.
BalasHapushaha
BalasHapuswaahhh begitu ya hahaha ^^
Hapusterima kasih sebelumnya ^_^
Gue juga suka ngomong sendiri. Malah kaya 'ngobrol sendiri' untungnya sih ga dianggep gila wkwk
BalasHapusWahaha begitu, ya. Saya juga sampai sekarang masih sering ngomong sendiri sih tapi diam-diam haha ^_^
HapusTerus cara ngilanginya gmna? Gua baca panjang banget gua kira ada cara ngilanginnya
BalasHapusYa saya tidak tahu. Di artikel ini kan saya tidak menulis cara menghilangkan ngomong sendiri itu. Sampai sekarang saja saya masih ngomong sendiri secara diam-diam. Menurut saya, lebih baik anda cari teman untuk bisa diajak ngobrol atau diskusi.
Hapuswong edan yo ra bakal ngaku edan
BalasHapusMbak dyah artikelnya cukup melegakan hati saya yang selama ini juga sering dianggap gila oleh keluarga,,,ternyata gak cuma saya yang kaya gini...thx mbak 😀
BalasHapusSama-sama mbak. Saya juga mengira hanya saya saja yang begini, ternyata tidak. Syukurlah mbaknya bisa lega. ^_^
HapusMbak dyah artikelnya cukup melegakan hati saya yang selama ini juga sering dianggap gila oleh keluarga,,,ternyata gak cuma saya yang kaya gini...thx mbak 😀
BalasHapusKalo kasus saya, saya ngomong sendiri karena sekedar berkomentar. Misalnya ngeliat dosen killer, langsung ngomong "ah si Durja nongol lagi, tidur dah gua."
BalasHapusNah, lain cerita kalo misalnya lagi sendirian. Gak ada orang kalo enggak di kamar mau tidur. Baru deh, ngaktifin dunia fantasi, ngayalin cerita yang ada di otak, dialog sendirian seolah-olah jadi karakter yang di hayalin.