Senin, 20 Mei 2013

Bicara Sendiri = Gila? Siapa Bilang!


Hola hola~ ohisashiburi~ o/ *lambai-lambai tangan*

Wew, sudah lama nggak posting ini blog lagi uhukdengantulisangajesayauhuk. Well, saya lagi nggak ada ide nulis apa, dan sifat mager saya kumat akhir-akhir ini,
hingga membuat saya menemukan rumus terbaru dalam hidup saya: (writer’s block + art’s block) x mager = klop.

Oke, abaikan rumus gaje itu.

Sebenarnya artikel yang saya posting kali ini lebih mirip lembaran esai orang curhat daripada artikel yang bermutu. Tapi, karena saya kepikirnya cuma ini dan rasanya nggak ‘plong’ gitu kalau nggak saya tulis di sini, ya sudah deh, saya tulis di sini. Lumayanlah, nambahin posting-an di blog.

Bicara sendiri. Sesuai dengan judulnya, emang ada pakemnya ya, kalau orang yang bicara sendiri itu pasti gila atau lagi bicara sama makhluk halus? Hell, no! Nggak pernah ada. Terus, misalnya pas kita sedang nonton sinetron terus si tokoh lagi bicara sendiri ngomongin soal kegalauan hatinya secara tersurat. Apakah dia gila juga? Enggak, 'kan?

Nah, bicara sendiri itu nggak mesti dia itu gila atau lagi bicara sama makhluk halus. Anggapan darimana itu? -___-. Jujur, hal seperti ini juga agak-agak nyiksa saya yang memang hobi bicara sendiri selama tiga tahun. Anda berpikir saya gila? Tidak mungkin. Mana ada orang yang gangguan jiwa bisa menulis dengan indahnya di blog ini. Apakah Anda berpikir kalau saya bisa melihat makhluk halus? Well, saya cuma bisa ngelihat sesuatu yang kasar, kok. 8’)) #plak.

Kenapa bisa nyiksa? Jadi gini, waktu pertama kelas 1 SMA, saya sering bicara sendiri. Nah, saya kan sedang ngomongin alur fanfic serta fangirling sendiri. Suatu ketika, saya sedang bicara sama salah satu teman saya. Nah, dia tahu soal kegiatan ngomong sendiri ini. Dan guess what, saya sempet dikira gila sama anak sekelas. Asli, saya mau ketawa, tapi rasanya, kok, miris juga. Setelah mengetahui hal itu, saya lalu seminimal mungkin tidak bicara sendiri.

Kasus kedua terjadi di Maret 2011. Waktu itu saya dipanggil wali kelas saya. Saya yang tidak tahu apa-apa kenapa bisa dipanggil, cuma bisa ber-doki-doki ria selama berjalan ke kantor guru. Saya lalu menghadap beliau dengan perasaan nervous-angsty gimana gitu, sementara beliau cuma senyum lembut. Jantung saya semakin doki-doki kayak lagi nonton film horror gitu. Saya ingat banget pertanyaan yang beliau tanyakan waktu itu. Begini kalau nggak salah, “Mbak Hikari, ya?” tanya beliau sambil senyum.

“Iya,” jawab saya sambil doki-doki tingkat tinggi dan muka kayak mau nangis. Well, saya buruk banget kalau lagi konversasi sama orang yang lebih tua dari saya.

Beliau lalu tanya dengan muka pengen tahu, “Mbak Hikari bisa ‘ngelihat’?”

“Eh?” di sini saya bingung mau jawab apa. Ini maksudnya ngelihat sesuatu pakai mata, 'kan? “Iya,” lanjut saya karena menurut saya kalau ngelihat, kan, semua orang bisa. Terus kenapa? Ada masalah sama penglihatan saya?, pikir saya.

“Mbak Hikari bisa ngobrol sama ‘mereka’?”

... HAH?! MEREKA SIAPA?!

Dan saya nggak bisa jawab pertanyaan ini. Beneran, saya nggak tahu maksud dari wali kelas saya ini. Lalu, saya pun tanya, “‘mereka’ siapa?”

“Eh? ‘Mereka’. ‘Mereka’ yang nggak bisa dilihat oleh mata,” jawab beliau.

Dan saya baru ‘ngeh’. Jadi, maksud dari ‘ngelihat’ itu, ini toh? Gue pikir apa.

Langsung deh, saya buru-buru bilang kalau saya nggak bisa ‘ngelihat mereka’. Terus beliau ngerespon, kalau kata anak-anak sekelas, mereka sering gitu ngelihat saya bicara sendiri. Dan saya cuma bisa speechless. Demi Titan, ternyata asal muasalnya dari situ, toh. Waktu itu saya juga cerita saya pernah lihat begituan, tapi waktu kelas 3 SD. Dan hal ini nggak bisa saya lupakan. Tapi setelah itu saya nggak bisa lihat lagi. Dan saya juga nggak mau lihat lagi.

Setelah selesai, saya balik ke kelas. Sesampainya di kelas langsung ditanyai teman sebangku. “Tadi kenapa dipanggil? Masalah itu, ya?” dan dengan senyum agak masam saya bilang, “ah, enggak, kok. Masalah lain. Nggak apa-apa,”

Setelah itu saya berniat untuk mencegah bicara sendiri di kelas. Ini horror. Masa’ sampai segitu parahnya saya bicara sendiri?

Kasus ketiga pas kelas 2 SMA. Kalau ini sama teman sebangku. Waktu itu saya lagi bicarain apa gitu soal apa lupa intinya lagi bicara sendiri. Nah, teman saya itu langsung manggil saya, “Ri, mbok jangan bicara sendiri. Kamu ngeri, lho, nakutin,” Langsung saya balas pakai senyum tanpa dosa gitu sambil nutupin bibir pake buku. Njiiir, gue harus hati-hati, batin saya. Kalau kelas 2 ini emang kerap digituin sama teman sebangku. Sayanya aja sih yang kurang kendaliin diri.

Kasus keempat pas kelas 3 SMA (nah, pas banget kan tiga tahun!). Kebiasaan kelepasan ngomong sendiri saya masih belum bisa dikendaliin dan ngomong-ngomong saya waktu naik kelas 3, udah nggak peduli ntar mau teman saya banyak atau nggak blas sama sekali. Kejadiannya mirip pas waktu kelas 2, tapi ada sesuatu yang lebih lawak lagi. Begini, saya kan dibilangin sama teman sebangku saya itu mirip sama pas kelas 2 (dan sering banget saya bales gini, “ah, sori, lagi monolog sendiri,”). Nah, dia lalu nambahin, “eh, tau nggak, kemarin tuh anak-anak pada ngomongin kamu, lho,”.

Nah, saya lalu kepo total. Kenapa bisa-bisanya saya diomongin gini? Lalu saya balas, “ngomongin gimana?”

“Ngomongin kalau kamu tuh jangan-jangan ada apa-apa karena kamu sering banget bicara sendiri. Ada juga yang bilang gila,” katanya—dan saya speechless dan mau ketawa. “Aku sih nanggepin mereka gini, kamu itu lagi nyanyi aja, gitu,” saya bersyukur denger dia balesnya gitu. “Lesnya kemarin malah jadi nggosipin kamu,”

Dan saya langsung ketawa ngakak. Eh, ini anak-anak les malah nggosipin orang ini maksudnya apa? =”))))))))))))). Saya langsung bilang, “wooo lhaa malah nggosipin orang i gimana,”. Saya udah nggak paham sama mereka. Bisa-bisanya pas les malah nggosipin orang. Dan di sini saya sadar, saya bener-bener harus bisa ngendaliin kebiasaan saya bicara sendiri di depan umum. Ini udah bahaya banget.

Well, lupakan sesi curhat panjang saya tadi. Sebenarnya, pas saya bicara sendiri itu, saya nggak cuma sedang fangirling sendirian (karena nggak ada yang bisa diajak fangirling bareng di kelas orz), saya juga kadang lagi ngritik yang lagi maju di depan atau ngritik permasalahan yang lagi dibicarakan dengan suara kecil tapi nada sarkas. Saya juga biasanya bicara sendiri karena saya lagi mencoba memutuskan sesuatu. Seperti saja pas memutuskan jurusan kuliah. Saya tulis yang kira-kira cocok untuk saya dan saya minat. Lalu saya eliminasi-eliminasi beberapa. Nah, proses eliminasi dan penentuan prioritas itulah, saya menggunakan kebiasaan bicara sendiri itu. Saya coba kira-kira yang pas tuh yang mana. Yang sesuai minat dan kemampuan itu yang mana. Yang minat banget dan punya kemampuan di situ yang mana lalu diprioritaskan utama. Semua kadang bikin saya asyik buat bicara sendiri.

Makanya, nggak pasti bicara sendiri itu gila kan. Saya sering kok memutuskan sesuatu dengan bicara sendiri. Menurut saya, bicara sendiri itu kayak ngomongin unek-unek dari dalem otak buat diolah dalam bentuk kata-kata biar nggak bikin bimbang dan pusing. Well, mungkin karena dasarnya saya itu sebenarnya asal ceplos tapi dalam suara yang relatif kecil. Makanya, walau mereka yang kenal saya bilang saya ini pendiam, sebenarnya cuma karena suara saya yang kecil.

Ohya, bicara sendiri itu juga berguna buat ngenalin diri sendiri dan intropeksi. Saya pernah baca tweet yang bernada seperti itu di twitter. Kadang coba deh, pas kita lagi dimarahi dan kita juga balik marah sama yang memarahi kita, kita coba buat bicarain sendiri apa masalah yang bikin kita dimarahi terus coba kita pikir siapa sebenarnya yang salah. Nah, kalau pas kita bicara sendiri ternyata ketemu kita yang salah, ya kita harus intropeksi.

Menurut saya, bicara sendiri itu sering terjadi sama anak-anak yang temannya kurang di sekitarnya. Tapi itu juga nggak pasti, sih. Well, yang penting, bicara sendiri itu nggak disama artikan dengan gila, oke? Dengar dulu apa yang sedang dia bicarakan sendiri dan lihat juga ekspresinya. Kalau ekspresi serius, pasti dia sedang bicarain sesuatu yang serius. Tapi kalau ekspresinya senang dengan binar-binar di matanya atau sambil mesem-mesem sendiri atau nggak diselipin teriakan “kyaaa!” ............................................ siapa tahu dia itu fangirl dan sedang fangirling-an seperti yang sering saya lakukan ohohoho (~´`)~ #ditimpuk.

Saya rasa, cukup sekian esai semi-curhat dari saya soal bicara sendiri. Yang penting, jangan suudzon dulu sama mereka yang bicara sendiri. Nggak baik ntar hasilnya. Oke? ( ´`)/

Jumpa lagi di posting gaje nan abal selanjutnya!

Sincerely,

Hikari.
Share:

12 komentar:

  1. koq kita banyak memiliki persamaan ya mbak. saya juga sering bicara sendiri, bahkan sama teman-teman sekelas udah di anggap gila. tapi saya ngga' peduli. btw, nice article.

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. waahhh begitu ya hahaha ^^
      terima kasih sebelumnya ^_^

      Hapus
  3. Gue juga suka ngomong sendiri. Malah kaya 'ngobrol sendiri' untungnya sih ga dianggep gila wkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahaha begitu, ya. Saya juga sampai sekarang masih sering ngomong sendiri sih tapi diam-diam haha ^_^

      Hapus
  4. Terus cara ngilanginya gmna? Gua baca panjang banget gua kira ada cara ngilanginnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya saya tidak tahu. Di artikel ini kan saya tidak menulis cara menghilangkan ngomong sendiri itu. Sampai sekarang saja saya masih ngomong sendiri secara diam-diam. Menurut saya, lebih baik anda cari teman untuk bisa diajak ngobrol atau diskusi.

      Hapus
  5. wong edan yo ra bakal ngaku edan

    BalasHapus
  6. Mbak dyah artikelnya cukup melegakan hati saya yang selama ini juga sering dianggap gila oleh keluarga,,,ternyata gak cuma saya yang kaya gini...thx mbak 😀

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama mbak. Saya juga mengira hanya saya saja yang begini, ternyata tidak. Syukurlah mbaknya bisa lega. ^_^

      Hapus
  7. Mbak dyah artikelnya cukup melegakan hati saya yang selama ini juga sering dianggap gila oleh keluarga,,,ternyata gak cuma saya yang kaya gini...thx mbak 😀

    BalasHapus
  8. Kalo kasus saya, saya ngomong sendiri karena sekedar berkomentar. Misalnya ngeliat dosen killer, langsung ngomong "ah si Durja nongol lagi, tidur dah gua."

    Nah, lain cerita kalo misalnya lagi sendirian. Gak ada orang kalo enggak di kamar mau tidur. Baru deh, ngaktifin dunia fantasi, ngayalin cerita yang ada di otak, dialog sendirian seolah-olah jadi karakter yang di hayalin.

    BalasHapus